Pages

Tuesday 11 February 2014

Plesiran Januari Part 2: Kuliner Pari Gogo

(Lanjutan dari seri Plesiran Januari Part 1...)

Setelah dari Embung Nglanggeran dan disambung mampir ke Masjid Al Ikhlas Wonosari untuk sholat Jumat, saya dan teman-teman langsung menuju warung lesehan Pari Gogo. Lesehan Pari Gogo terkenal dengan menu nasi merah dan masakan tradisional lainnya. Lokasi warung makan ini berada di Jalan Wonosari, Semanu, Gunung Kidul, tepat sebelum Jembatan Jirak kalau dari Jogja. Rutenya sama dengan rute menuju pantai gunung kidul, tapi pas di Jalan Wonosari yang biasanya belok kanan untuk menuju pantai itu tetep lurus saja sampe keliatan Jembatan Jirak. Nah, warung makannya tepat ada di kanan jalan sebelum jembatan tersebut.

Bentuk bangunannya sederhana, seperti warung makan pada umumnya yang tersambung dengan dapur masaknya. Tempat parkirnya juga sebenernya cuma area depan warung, tapi lumayan muat banyak mobil. Kalau pas liburan biasanya ramai pengunjung dan parkirannya penuh mobil. Tempat duduknya ada lesehan, lincak (ada yang tidak tahu lincak? Kursi dari bambu itu lho...), dan kursi panjang seperti kebanyakan warung makan tradisional lainnya. 

Hop Sek Mas, Hop Sek!

Tempat makannya terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian kursi panjang yang ada di depan dan terbuka, lincak dan meja di dalam bangunan bertembokkan gedhek (dinding dari bambu), dan lesehan di dalam bangunan utamanya. Di dinding-dindingnya terpampang beberapa foto tokoh mulai dari Sulatan Hamengku Buwono X hingga mantan presiden Megawati yang sedang menyantap hidangan nasi merah. 

Begitu kami sampai di depan kasir yang seperti warung kelontong itu si Ibu penjual langsung menyuruh kami duduk dan hanya bertanya makannya untuk berapa orang. Kami duduk di bagian depan yang terbuka, karena pas itu ramai pembeli dan malas mencari spot maka ya cari tempat duduknya sedapatnya dan asal nyaman saja. Setelah duduk kami memesan minuman berupa tiga gelas es teh dan segelas teh panas (Eh, Nana kenapa pesen teh panas ya?). Sembari menunggu makanan tersaji, pengunjung dapat menikmati atmosfer pedesaan dan juga menikmati camilan khas daerah sana berupa...jeng-jeng...belalang goreng!

Menu Asal Jepret

Tidak menunggu lama, makanan pun dihidangkan. Ternyata memang sistemnya adalah prasmanan tapi per rombongan. Jadi ketika ada rombongan datang maka akan disediakan beberapa jenis masakan dan nanti yang dihitung adalah masakan yang dimakan. Menu yang disajikan berupa nasi merah, sayur sop cabe hijau (atau kalau dalam bahasa jawanya "jangan lombok ijo"), ayam goreng, wader goreng, empal, babat-iso goreng, sayuran hijau rebus, dan trancam. Soal rasa jangan ditanya dah, di sini masakan emang tipenya tradisional tapi buat saya yang sering makan masakan tradisional pun hidangan di sini rasanya spesial. Top maknyos! Oh iya es tehnya juga enak lho, easily one of the best ice tea I've ever tasted.

Setelah selesai bersantap kami masih bingung nanti cara hitung jumlah yang harus dibayar bagaimana, soalnya sistemnya prasmanan dan agak abstark. Tadinya sih karena keburu laper jadi pada asal comot-comot aja tanpa mikir; pokoknya apa yang diinginkan ya diambil, taruh piring masing-masing, trus dimakan. Alhasil yang disajikan hampir semuanya habis, hanya tersisa sayuran hijau (sedikit lupa sebenernya itu apa, kayaknya daun singkong) dan ayam goreng yang hanya diambil satu.

Grup Plesiran dan Meja Amburadul

Karena bingung kami langsung memanggil si Ibu penjual dan bilang "sampun Buk, niki pinten? (sudah Bu, ini berapa?)". Seketika si Ibu tersebut menatap meja yang amburadul selama beberapa saat, seolah-olah seperti kamera yang mengambil gambar kemudian memprosesnya menjadi data apa saja makanan yang kami makan. Setelah itu Ibu tersebut masuk kedalam warung dan beberapa saat kemudian keluar dengan membawa secarik kertas nota. Saya cuma berpikir dalam hati, "iki mau ki gek le ngitung piye?" Hahaha...

Nota diterima, tertera total sekitar 150 ribu rupiah untuk berlima. Kalau dirata-rata secara kasar per orangnya habis 30 ribu.  Karena saya sedang malas berhitung dan menganalisis nota, langsung saja itu dibayar tanpa memperhatikan notanya. Sebenarnya saya sudah berniat memotret notanya buat dokumentasi tapi pada akhirnya lupa juga. Walaupun untuk sekelas warung makan tradisional harganya relatif mahal, tapi warung makan ini memberikan kepuasan rasa yang sebanding. You have to try it, at least once.

Pari Gogo: Sah!

Setelah selesai makan kami berangkat menuju pantai Wedi Ombo, salah satu pantai eksotis yang masih sedikit pengunjungnya. Entah nanti kelanjutan cerita ini akan saya tulis atau tidak, yang jelas perjalanan masih jauh dan menyenangkan. Berkaca dari film The Dark Knight trilogi yang film keduanya lebih bagus dari pada The Dark Knight Rises yang menjadi penutup trilogi jadi mungkin seri ketiga tidak akan saya tulis, toh sudah banyak yang bikin tulisan tentang kunjungannya ke pantai-pantai daerah Gunung Kidul. OK, sebagai penutup berikut data dari Warung Makan Lesehan Pari Gogo. Pari Gogo? Go! Go! Go!

Lesehan Pari Gogo
Menu: Nasi merah, sayur sop cabe hijau, empal, belalang goreng, dan masakan tradisional lainnya
Alamat: Jl Wonosari - Semanu, Gunug Kidul
Jam Buka: Setiap hari, 10.00 - 16.00.
Koordinat GPS: S7°59'50.1" E110°39'1.9"


My Rate: 4/5

Monday 3 February 2014

Plesiran Januari Part 1: Embung Nglanggeran

Prelude
Sudah pernah ke Gunung Api Purba Nglanggeran? Penghuni D.I.Y dan sekitranya yang gemar bertamasya pasti sudah pernah ke sana. Objek wisata Gunung Api Purba Nglanggeran adalah objek wisata alam baru yang mulai terkenal mengikuti jejak kesuksesan Goa Pindul. Objek wisata ini terbagi menjadi dua tempat yaitu puncak pegunungan purba dan embung. Lokasi embung dan puncak tersebut relatif berdekatan, namun untuk mencapai puncak harus berjalan kaki naik dulu. Buat yang belum tahu, embung adalah sebuah kolam yang dibuat dengan cara menggali tanah kemudian memadatkan atau melapisi permukaannya sehingga air yang ada diembung tidak meresap ke tanah. Biasanya embung digunakan sebagai media yang bertujuan untuk pemanfaatan sumberdaya air hujan. 

Penampakan Gunung Api Purba Nglanggeran 

Pada 31 Januari 2014 bertepatan dengan liburan hari imlek, saya berkesempatan mengunjungi objek wisata Nglanggeran. Sayangnya pada kesempatan itu saya dan teman-teman hanya mengunjungi embung tanpa naik sampai ke puncak Gunung Api Purba Nglanggeran. Masalahnya ada teman saya yang tidak mau naik, haduh sungguh kecewa saya dibuatnya. Katanya sih perlu sekitar 40 menit jalan kaki untuk bisa sampai ke puncak gunung api purba. Ya mau bagaimana lagi, terpaksa naik pegunungan purba saya re-schedule dan kali ini cuma mengunjungi embung. Pokoknya sudah bertekad bulat: Februari ini harus naik! 

Rute Menuju Lokasi
Kalau dari Jogja sih rutenya gampang saja, tinggal menelusuri jalan Wonosari melewati Piyungan, menempuh jalan naik seperti kalau mau ke Wonosari, lalu belok ke kiri pas pertigaan Polsek Patuk atau GCD FM. Kalau bingung pas di jalan Wonosari cari petunjuk jalan yang mengisyaratkan belok kiri ke Desa Ngoro-oro. Setelah belok kiri nanti terus aja menyusuri jalan aspal, ketika landscape udah berupa pemandangan hamparan hijau dan anda dapat melihat banyak tower relay stasiun televisi maka dapat dipastikan anda berada di jalan yang benar. Perjalanan dapat ditempuh kira-kira satu jam dari pusat kota Jogja. Katanya sih kalau mau via kendaraan umum bisa naik bus arah Wonosari, turun di Patuk, trus ngojek ke lokasi objek wisata; tapi saya sendiri belum pernah coba.

Pemandangannya Cihuy!

Retribusi dan Parkir
Sesampainya di tempat tujuan, ada pungutan retribusi biaya masuk dan asuransi sebesar Rp3.000 per orang dan biaya parkir Rp 5.000 untuk mobil sedangkan motor Rp 2.000. Setelah melewati retribusi akan tampak parkiran untuk menuju puncak gunung api purba, namun jika ingin ke embung maka dari parkiran itu terus saja nanti akan ada parkiran tersendiri setelahnya. Lapangan parkir cukup luas untuk menampung banyak mobil dan motor.

Pemandangan Dari Tempat Parkir.

Panorama
Di parkiran embung akan terlihat pemandangan yang menakjubkan, 360 derajat pemandangan hijau, bukit, bebatuan, dan tentu saja Pegunungan Purba Nglanggeran. Untuk sampai ke embung dari parkiran cukup jalan kaki sebentar trus naik tangga, tapi naiknya tidak begitu tinggi kok. Setelah naik kita dapat melihat embung yang berada di tengah dataran tinggi. Memang jika ingin menikmati objek wisata ini secara maksimal, datangnya pas menjelang matahari terbit atau matahari tenggelam. Kalaupun datangnya siang biar tidak kepanasan ya bawa payung atau cari waktu ketika langit mendung menjelang hujan, dijamin adem dan berkabut asyik. Pastinya sih banyak spot bagus buat foto-foto dan pemandangannya top!

Embung Nglanggeran

Di sekitar embung banyak ditanam pohon buah. Rencananya memang di daerah itu akan menjadi kebun buah rakyat. Rencananya? Iya, masih rencana. Pada saat kunjungan saya kebun ini masih belum siap, baru saja ditanam dan belum ada yang bisa dipanen. Jadi kalo mau memetik buahnya ya masih menunggu paling tidak setahun dua tahun lagi, soalnya sedang dalam proses penanaman dan bahkan ada pula yang masih dipersiapkan lahannya. Bakalan lebih asyik pastinya kalau bisa menikmati pemandangan yang luar biasa itu sambil makan buah yang baru saja dipetik. Oh iya, di sebelah embung agak ke atas ada spot buat camping dan out bond loh, bisa panjat-panjatan juga di sana.

Into The Wild

Sekitar jam sebelas kurang lima belas menit, kami meninggalkan objek wisata dengan tujuan mencari masjid untuk sholat Jumat. Ketika masuk mobil sebenarnya masih dibahas apakah nanti setelah sholat Jumat mau naik ke gunung api purba (masih pengen naik!) atau pergi ke tempat lain, dan hasilnya diputuskan sehabis sholat Jumat makan di warung kuliner nasi merah terkenal Pari Gogo kemudian ke Pantai Wedi Ombo. Bagaimana rasanya nasi merah Pari Gogo yang terkenal itu? Tunggu postingan saya berikutnya!



To be continued...